Rabu, 27 Januari 2016

Review KMGP The Movie





Review

Ketika Mas Gagah Pergi



            “Gita!” panggil Mas Gagah
Gagah Perwira Pratama atau biasa dipanggil Gagah ini adalah sosok lelaki sekaligus kakak yang baik dan penyayang terhadap adiknya yang bernama Gita. Sejak kecil Gagah selalu menemani kemanapun adiknya pergi, ia tak pernah meninggalkannya sendiri walaupun dirinya kadang juga jail terhadap Gita. Gagah merupakan lelaki yang jagoan dan juga juara bagi Gita, yang nggak akan pernah ninggalin Gita dan selalu mau berbagi dengan adik perempuannya itu.
            “Ini adik gue, jangan pernah kalian mengganggu adik gue lagi!” begitu ucap Gagah yang sedang membela Gita di hadapan teman-teman yang mengganggunya.
Waktu terus berjalan mengiringi hari-hari kakak beradik itu. Merekapun kini telah tumbuh menjadi manusia dewasa dan remaja. Gagah tumbuh menjadi satu-satunya lelaki yang paling gagah buat Gita, yang bisa ngertiin sekaligus paling keren di mata Gita. Gagah menjadiseorang model terkenal, hanya Gagah yang bisa membuat hari-hari Gita menjadi asyik dan penuh warna. Ketika papa meninggal, Gita begitu merasa kehilangan. Tak ada yang bisa menggantikan kasih sayangnya kecuali Gagah. Kehadirannya kembali menguatkan Gita, dia akan menjadi panutan yang sempurna untuk Gita. Gagah lah yang kini memikul tanggungjawab menjaga keluarganya. Kecerdasan dan ketegasan Papa mengalir dalam diri Gagah. Gagah terus berjuang melakukan apa saja demi masa depan keluarganya. Dia adalah keajaiban dan penyelamat nafas keluarganya. Hingga pada akhirnya Gagah menjadi lelaki mandiri dan selalu bersemangat mengejar mimpi. Suatu hari Gagah membeli sebuah mobil berwarna putih menggantikan mobil Papa yang selalu membuat Gita menangis ketika melihatnya. Itu membuat Gita merasa sangat senang. Sejak saat itu Gagah selalu ada untuk Gita, Gagah selalu bersedia menghabiskan waktu bersama adiknya dan selalu membimbingnya. Setiap berangkat dan pulang sekolah Gagah selalu mengantar dan menjemputnya. Hal itu menjadikan teman-teman Gita merasa iri padanya.
            “Kita jadi backpackeran Mas?” tanya Gita saat berada di dalam mobil
            “Jadi dong, Mas sudah browsing nih, kamu mau ke Korea atau ke Turki?” tanya Mas Gagah
            “Serius?” tanya Gita girang tak percaya
            “Serius” jawab Mas Gagah meyakinkan
            “Aku mau dua-duanya Mas”
            “Eh, pilih salah satu dong” ucap Mas Gagah membuat Gita manyun. “Tapi ntar setelah Mas Gagah pergi ya?” lanjut Mas Gagah meminta pendapat.
            “Emang Mas Gagah jadi pergi?”
            “may be!”
            “Nggak jadi backpackeran nggakpapa deh Mas!” ucap Gita kesal
            “Lho kok gitu?”
            “Asal Mas Gagah nggak jadi pergi”
            “Bener?” goda Gagah
            “Serius!” ucap Gita geram
            “Keluar deh Gito nya” goda Gagah lagi
            “Gito lagi deh, enak aja! Gita!”
            “Gito”
            “Mas Gagah!” teriak Gita manja
###
            “Serius ni Mas Gagah jadi pergi?” tanya Gita yang saat itu sedang melihat Gagah mengemasi barang-barangnya. “Trus Gita gimana? Nggak ada yang nemenin Gita dong? Lagian ngapain sih Mas pakai ke Ternate segala?” tambahnya
            “Kan Mas sudah bilang, buat penelitian skripsi Mas, sekalian ada proyek dari kontraktor Mas yang Mas biasa part time disana”
            “Trus berapa lama?”
            “Sekitar satu atau dua bulan”
            “Dua bulan? Ah sebel! Nggak ada Mas Gagah tu nggak asik Mas, kemana-mana sendiri” rengek Gita manja
            “Eh, kok jadi kolotan gitu sih? Kamu kan masih bisa keluar sama temen-temen kamu” ucap Gagah berusaha menenangkan adik kesayangannya itu
            “Nggak ah! Asikan sama Mas Gagah, aku ikut yah?” Gita mulai merayu
            “Ikut? Ikut kemana?”
            “Ikut Mas Gagah lah, eh serius nih aku pengen ikut”
            “Eh, enggak-enggak! Ini kan bukan liburan Gita” tolak Gagah
            “Nggak mo tau!”
            “Trus kalau kamu ikut, sekolah kamu gimana? Mamah?”
Pertanyaan itu membuat Gita terdiam. Selesai berberes, Gita dan Mamah mengantar kepergian Gagah ke bandara. Gita masih saja berusaha merayu mas nya agar tidak jadi pergi.
            “Gagah pergi dulu ya, da Mamah da Gita”
Dua bulan berlalu setelah kepergian Gagah. Mamah dan Gita kembali ke bandara untuk menjemputnya.
            “Assalamualaikum” seorang lelaki berjenggot dengan pakaian koko berdiri tepat di depan Gita dan Mamah. Keduanya terheran melihat sosok lelaki itu.
            “Waalaikumsalam” jawab Mamah dan Gita
            “Mah, Gita” sapa nya
Ya! lelaki berjenggot itu adalah Gagah. Seorang kakak yang kehadirannya selalu dinanti oleh Gita. Gagah terlihat sangat berbeda sepulang dari Ternate, mulai dari penampilan dan sikapnya yang semakin alim. Sesampainya dirumah, seperti biasa Gita memulai pembicaraan melalui pesan yang dikirim lewat handphone nya. Dulu sebelum pergi ke Ternate Gagah selalu respect bila handphone nya berdering, tapi kini berbeda, dia sama sekali tak peduli bahkan terlihat semakin asik membaca buku yang dipegangnya.
            “Mas...!” teriak Gita merengek
            “Lho, kok pakai teriak-teriak gitu?”
            “Dua bulan delapan belas hari, sejak Mas Gagah dari Ternate hingga hari ini? Memang bener, Mas Gagah bener-bener beda sekarang!” protes Gita
            “Beda gimana? Biasa aja kayaknya”.
            “Nggak usah sok gitu deh! Emang Mas Gagah nggak ngerasa? Tuh jenggot apaan? Pakai nggak ngaku lagi! Sejak Mas Gagah pulang dari Ternate, Mas Gagah berubah! Drastis! Emangnya Mas Gagah ngapain aja sih disana?” Protes Gita kembali merengek.
            “Maaf ya Git, sebenarnya, Mas, pengen banget cerita ke kamu, tapi Mas nggak tau harus mulai dari mana? Mas belum siap, nanti kalau waktunya tepat..”.
            “Nanti! Nanti! Dulu Mas Gagah suka cerita apa saja lho sama Gita, emangnya Mas Gagah mikir Gita itu siapa?! Ngeselin banget sih!” ucapnya jengkel memotong penjelasan Gagah.
“Kasih waktu Mas Gagah ya Git?”
            “Sampai kapan?” protes Gita
Gagah terdiam mendengar pertanyaan Gita. Dalam pikirnya ia bingung bagaimana menjelaskan itu semua kepada keluarganya. Gita pun meninggalkan Gagah sendirian di meja makan.
###
Seperti biasa, Gagah mengantarkan Gita ke sekolah, tapi kali ini Gita yang menyetir mobilnya. Di dalam mobil Gagah terus menerus melantunkan ayat-ayat Al-quran yang telah ia hafal selama di Ternate dan itu semua membuat Gita merasa risih mendengarnya. Ia dengan sengaja mengerem mobilnya secara mendadak.
            “Astaghfirulloh, Git kalem Git, udah biar Mas aja ya yang bawa? Kan biasanya juga gitu” ucap Gagah kaget
            “Kenapa? Nggak percaya?”
            “Astaghfirulloh” gumam Gagah lirih
            “Lagian ngapain sih Mas, komat kamit mulu dari tadi? Kalau Gita nggak konsen gimana?”
Gagah kemudian menyalakan lagu nasyid tanpa menjawab pertanyaan dari Gita tersebut. Senandung nasyid berbahasa arab pun mulai terdengar membuat Gita semakin merasa kesal.
            “Matiin Mas!”
            “Ini nggak seperti yang dulu Gita, kalau yang dulu itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala” jelas Gagah
            “Ya lagian kita orang Arab? Dengerin lagunya kok gituan?” protesnya lagi
            “Ini nasyid Gita, bukan sekedar nyanyian, tapi juga dzikir, dzikir kepada Allah”
Mendengar itu Gita langsung keluar dari mobil, ia tak mau lagi di antar ataupun di jemput oleh Gagah. Ia lebih memilih untuk naik bus umum.
###
Ada yang berbeda pagi ini di meja makan. Kebekuan suasana terasa ketika itu. Gagah berusaha mencairkan suasana saat itu, sekaligus ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya selama di Ternate.
            “Mamah, Gita, akhir-akhir ini mungkin Mamah dan Gita merasa ada yang berbeda dengan Gagah, sebenarnya enggak Mah, Gagah cuma sedang belajar melakukan sesuatu yang Gagah anggap itu benar, Ya Rabbana, dan Mas nggak pernah berubah, Mas tetap sayang sama kamu, Dik Manis, juga Mamah” jelas Gagah memulai pembicaraan.
            “Dik Manis?” sahut Gita heran, merasa aneh dengan panggilan itu.
            “Waktu di Ternate Mas bertemu dengan seorang kiai hebat namanya Kiai Ghufron, ya Kiai Ghufron, subhanallah orangnya sangat bersahaja, santri-santrinya pun luar biasa, disana Mas menggunakan waktu luang Mas untuk mengaji, dan dunia terasa lebih terang, Kiai Ghufron mengajarkan kepada Mas hakikat islam yang sebenarnya, beliau menunjukkan bahwa islam itu indah, islam itu cinta, ya! Indah, cinta” ucap Gagah menceritakan pengalamannya di Ternate
            “Hebat banget sih dia Mas? Bisa bikin Mas berubah! Dan aku nggak ngerti Mas ngomong apa! Lebay!” ucap Gita sembari meninggalkan meja makannya.
            “Mah” Gagah berusaha membuat Mamahnya berbicara,namun Mamahnya tetap saja diam sambil menikmati sarapannya.
###
Mulai hari ini Gita berangkat sekolah menaiki bus. Ada sesuatu yang berbeda di dalam bus. Ketika Gita telah duduk di bangku bus, tiba-tiba seorang lelaki masuk ke dalam bus itu, dan kali ini bukan seorang pengemis atau preman, melainkan seorang mahasiswa yang mendakwah disitu.
            “Assalamualaikum, salam sejahtera” ucap lelaki muda itu
            “Yang lain aja deh mas” sahut para penumpang bus
            “Mohon maaf mengganggu kenyamanan bapak, ibu dan saudara-saudara ku sekalian, ijinkanlah saya menunaikan kewajiban saya yang telah diberikan setitik ilmu oleh Allah SWT yang tentunya harus saya sampaikan, selain di amalkan, saudara-saudaraku, bapak, dan ibu, apakah kita sudah berhijrah?”
            “wah berat tuh” sahut salah satu penumpang bus
            “ngomong apaan sih?” sahut penumpang yang lain
            “Hijrah, kenapa? Kedengarannya asing? Aneh? Mungkin karena belum tau, mau tau? Sebenarnya hijrah itu artinya pindah, berubah, move on, ya move on, moving on where, what Allah say yes? yes kesesuatu yang lebih baik, yes meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran dalam hati, perkataan dan perbuatan, semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersemangat untuk berhijrah! Untuk meraih kemenangan makanya kita harus berjihad!”
            “Jihad?” tanya penumpang bingung
            “Ya! Jihad! Jihad itu tak seperti yang kita bayangkan! Jihad itu artinya kita sungguh-sungguh dijalan Allah, fi sabilillah, lurus di jalan Allah, wassalamualaikum”
Gagah kini tak lagi bergaul bersama teman-temannya yang dulu, ia lebih sering berada di dekat orang-orang yang membawa manfaat untuk kehidupannya. Ia menemukan kehidupan baru dikampusnya.
###
            “Berkali-kali Abah sudah bilang kepada mu, bahwa kakakmu itu tidak akan pulang saat ini Yudi, karena masih ada kerjaan yang harus diselesaikan disana, dan juga kau ngotot jemput dia! Sekarang Abah tanya, mana kakakmu? Mana? Ya Tuhan, Abah dan Umi tinggal punya kau dan kakakmu, sekarang ini abah merasa sudah tua, jadi kau harus berpikir bagaimana cara kau bisa bertanggungjawab kepada semua ini” ucap Abah pada Yudi berusaha menasehatinya.
            “Tapi..” sela Yudi
            “Tapi! Tiap kali kita debat masalah ini kamu selalu pakai alasan tapi! Tapi! Apa sih?! Nggak ada kata-kata lain apa? Santri-santri abah itu ikut apa kata abah, tapi kamu? Abah nggak ngerti apa sih mau nya kau nak? Padahal kau kan anak abah sendiri, Astaghfirulloh, kau kan sudah dewasa nak, mestinya kau ngerti apa yang abah inginkan, apa yang umi inginkan, ngerti mestinya! Sudahlah, mulai sekarang kau tidak perlu lagi pergi ke tempat-tempat apa itu? Latihan teater? Nggak perlu lagi kau khotbah sana sini, Abah denger juga kau bantu-bantu orang diluar sana, kalau mau bantu, bantu orang-orang disini!”
            “Dakwah Abah” bela Yudi
            “Dakwah Abah! Dakwah Abah! Dakwah ya disini Yudi! Di tempat seperti ini! Ha!”
            “Tapi kan Abah, yang mengajarkan saya sampaikan kebenaran walau hanya satu ayat kepad siapapun dan dimanapun dimuka bumi ini, kalau saya hanya berdakwah disini Bah, bagaimana....”
            “Alah kamu!” bentak Abah memotong penjelasan Yudi
            “Abah, sudah Bah, Umi tau Abah benar, tapi mungkin Yudi perlu waktu” sahut Umi segera menghentikan perdebatan itu
            “Waktu, waktu apa?!”
            “Dan kamu Yudi, harusnya kamu tahu, kamu satu-satunya anak Umi yang menjaga Umi sama Abah disini, jadi siapa yang bertanggungjawab atas semua ini kalau bukan kamu?” kata Umi menasehati
###
Hari ini Gagah bertemu dengan tiga preman yang memalaknya. Gagah menghajar preman tersebut karena ulah mereka yang secara tidak sopan meminta uang pada Gagah. Kekalahan preman tersebut membawa Gagah pada sebuah rumah yang berisikan anak-anak tak mampu.
            “Sebenarnya kalau tadi minta uang nya baik-baik pasti saya kasih Bang” ucap Gagah
            “Ya terpaksa atu kang”
            “Sebetulnye kite nih udah kagak mau malak orang lagi, tapi loe lihat sendiri anak-anak itu, apa loe tega ngelihat bocah-bocah ntu? Sejak bini gue meninggal, gue nggak punya siape-siape lagi, anak kagak punye, rumah ni peninggalan orang tua”
            “Jadi Bang Ured yang merawat anak-anak tadi?” tanya Gagah
            “Yah, niatnya sih gitu”
            “Kita bertiga ni sebenernya udah inshaf jadi preman, kita tu pengen cari uang yang halal-halal saja begitu, tapi ternyata...”
            “Ternyata berat euy, berat pisan hidup bener teh, apa kita balik kaya dulu kang? Perasaan lebih mudah cari uangnya”
            “Jangan Bang, jangan! Hidup abang-abang itu udah bener” ucap Gagah menghentikan niat mereka
            “Bener gimana maksud loe?”
            “Ya bener, ngurusi anak-anak tadi, bangunin rumah ini, udah bener itu bang! Cuma tinggal ibadahnya bang” jawab Gagah
            “Ibadah kayak apa? Doa sudah banyak yang lupa” kata Asep
            “Loe masih mending Sep doa lupa, daripada saya tidak tau mau ngomong apa dengan Tuhan”
            “Sekarang yang pasti-pasti aja deh, yang penting dapat duit buat makan anak-anak itu”
            “Betul Bos! Ibadah, doa, apanya yang mesti dimakan?”
            “Gini bang, mungkin jalan hidup kita kelihatan susah, karena kita sering lupa sama Yang Maha Pencipta, insyaallah, nanti saya dan teman-teman saya akan bantu bang” ucap Gagah
Gagah yang tadinya hanya ingin mengembalikan sebuah dompet yang di temunya, akhirnya dipertemukan dengan tiga orang preman yang membawa Gagah pada kebaikan. Gagah memutuskan untuk ikut membantu anak-anak disitu dan membantu merenovasi tempat anak-anak tinggal. Tempat itu kini diberi nama Rumah Cinta.
###
            “Mas! Mas Gagah!” teriak Gita sembari berjalan menuju kamar Gagah
Sampai didepan pintu ia terheran melihat tulisan arap tertempel di pintu kamar Gagah. Setelah dibaca artinya, Gita segera mengetuk pintu itu dan mengucap salam.
            “Assalamualaikum, Mas!”
            “Waalaikumsalam, ada apa dik manis?”
            “Dik manis? Tu ada Tresye nyariin Mas tu!”
Gagah segera turun dan menemui Tresye yang sedang asyik berbicara dengan Mamah. Tresye sudah menceritakan semuanya pada Mamah dan Gita bahwa Gagah telah berhenti menjadi seorang model. Gagah pun sampai diruang tamu, Tresye begitu heran melihat penampilan Gagah yang sangat tak diduganya.
            “Gagah, apa kabar?” tanya Tresye menyodorkan tangannyamengajak Gagah bersalaman
            “Baik, Alhamdulillah” jawab Gagah sembari menyatukan kedua telapak tangan ke depan dada tanpa menyentuh Tresye
Tak lama kemudian teman-teman Gagah datang kerumah, ia pun segera menyambutnya dan meninggalkan Tresye yang masih berdiri ditempatnya tadi.
            “Mah, Gagah ngaji dulu ya” ucap Gagah meminta ijin untuk pamit
            “Oh, iya”
            “Mas, Mas!” Gita mencoba menghentikan Gagah di tangga. “Sok suci banget sih Mas? Masak pakai nggak mau salaman segala sama Tresye? Mas jangan gitu dong, itu tu sama aja nggak ngehargain orang! Lagian Tresye udah deket sama kita, kan nggak enak!” protes Gita
            “Lho, justru karna Mas menghargai dia makanya Mas begitu, Gita tau nggak kalau orang sunda salaman? Nggak sentuhan tapi tetep santun, itu yang bagus” jelas Gagah
            “Kog bawa-bawa orang sunda segala sih? Nggak nyambung!”
            “Bentar ya Dik Manis” ucap Gagah sembari mengambil sesuatu dari dalam kamar. “Nih baca” pintanya kemudian.
            “Apaan? Dari Aisyah RA, demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasululloh SAW tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan makhromnya, hadist Bukhori Muslim, tapi Kiai Anwar mau salaman dengan Mamah, Haji Totok, Haji Kari sama Ustad Ali..”
            “Bukankan Rasululloh Uswatun Khasanah? Teladan yang baik? Biar saja mereka begitu, tapi Mas enggak, nggakpapa kan? Coba untuk mengerti dan menghargai ya Dik Manis”
            “Coba untuk mengerti dan menghargai ya Dik Manis! Mas tu yang harus ngertiin aku! Ucapnya jengkel kemudian meninggalkan Gagah         
 Setelah perdebatan itu, Gita menerima foto-foto yang dikirim Gagah. Foto itu adalah foto Rumah Cinta. Gita masih saja tidak mengerti dengan semua itu.
            “Hah! Uang backpackeran kita Mas kasih ke mereka? Jadi Mas Gagah lebih memilih tiga preman itu daripada adiknya sendiri? Gitu?”
            “Bukan gitu Dik Manis, mereka kan lebih butuh bantuan sekarang, kita juga bisa jalan kapan aja kan nanti? Sabar ya? Insyaallah bulan depan honor Mas sudah bisa di ambil kok”
            “Emangnya Mas nggak tau? Adikmu ini juga butuh bantuan Mas! Butuh bantuan buat di ngertiin, butuh bantuan buat di perhatiin lagi kaya dulu! heh! Aku pikir kalau kita jadi backpackeran, kita bisa ngomong dari hati ke hati! Kita bisa selesaiin semua masalah kita!”
            “Ya Mas nggak punya maksud untuk gitu Dik Manis”
            “Aah! Mas kan udah janji sama Gita, sekarang Mas lebih ngerti soal agama dari Gita, suka ceramahin Gita, tapi kenapa sih Mas nepatin janji gitu aja nggak bisa! Iih! Huh! Emangnya Kiai Mas ngajarin Mas kaya gitu ya?”
            “Iya, Mas ngaku salah, tapi nggak usah bawa-bawa Kiai Ghufron juga dalam hal ini dik!”
            “Lho ini buktinya! Semenjak Mas kenal dengan Kiai itu, kita jadi ribut terus Mas! Rumah rasanya panas!”
            “Gita! Mas minta jangan diteruskan ya? Ya Rabbana..”
            “Emang bener kan? Kalau Kiai Mas bener kita nggak akan kaya gini Mas!”
            “Please Git! Mas minta cukup!”
            “Enggak! Mas Gagah pasti ikut aliran sesat!”
            “Git! Gita!” Gagah mengejar adiknya yang berlari keluar kamar
            “Git! Gita!” panggil Mamah yang kebetulan akan menaiki tangga. “Gagah! Kenapa sih kamu itu? Kenapa sih mesti seperti ini? Mamah tau Gah, Mamah tau apa yang kamu kerjakan itu baik,apa yang kamu kerjakan itu benar, tapi bukan berarti kamu tidak bisa menjaga adik kamu dengan baik!” ucap Mamah kesal
            “Tapi Mah”
            “Cukup! Mamah Cuma minta satu hal, dengan kamu yang sekarang, kamu nggak bawa masalah ke keluarga ini!”
###
Di dalam bus seperti biasa Yudi melakukan rutinitas dakwahnya. Meskipun tak sedikit orang yang mencelanya, namun ia tetap bersemangat untuk dakwah.
            “Woy! Masih pagi Bang!”
            “Agak siangan dikit napa? Nggak ada uang receh nih!”
            “Assalamualaikum, mengapa islam mengajarkan kita untuk senantiasa berbaik sangka! Khusnudzon atau berbaik sangka akan mengokohkan persaudaraan dan persahabatan, karena itu bila kita mendengar kata tak enak, daripada menduga-duga lebih baik kita tabayun, tabayun adalah...”
            “Woy!” Gita memotong ceramah pagi itu. “Lu ngeselin banget ya! Maksud loe apa ngomong kaya gitu tadi? Nyindir gue?!” perdebatan di bus itu kembali terjadi. Entah kenapa setiap Gita naik bus di situ ia bertemu dengan Yudi si pendakwah itu. Perdebatan ini terus berlanjut dari harike hari, hingga akhirnya Gita mulai mengenal sosok lelaki itu yang telah menolongnya dari perampokan di dalam bus. Di sekolah Gita menceritakan sosok Yudi itu kepada teman-temannya, bahwa ia suka berdakwah dan cara berbicaranya pun mirip dengan Gagah. Mengingat Gagah, Gita sangat ingin kakaknya itu berubah seperti dulu lagi.
Malam ini Gita pergi ke kamar Gagah secara diam-diam setelah mengetahui bahwa Gagah akan pulang larut malam. Dibukanyalah labtop milik Gagah, ia membuka foto-foto ketika Gagah masih di Ternate. Ditengah keasyikannya memandang foto-foto itu Gagah datang. Disinilah puncak kemarahan Gagah.
            “Sejak Papa kalian berdua pergi, Mamah mau tanya ya sama kalian berdua! Pernah nggak Mamah ngeluh? Mamah ngebesarin kalian berdua sendiri ya! Dengan senang hati Mama kerja dari pagi hingga malam, mestinya kalian berdua tu bahagia! Kalau cara kalian berdua seperti ini Mamah berhak marah!”
            “Tapikan aku hanya pinjam labtopnya Mas Gagah doang!”
            “Seharusnya kamu ngomong dulu ke Mas Gagah, pasti Mas ijinin, lagian disitukan ada sesuatu yang mungin privasi buat Mas”
            “Privasi! Sejak kapan Mas Gagah punya kata-kata privasi?! Seumur-umur kita jadi saudara kita tu nggak pernah nyembunyiin apapun!”
            “Maksud Mas itu..”
            “Gagah! Udah ya! Potong Mamah. Cukup ya Gita! Dan kamu ya Gita walaupun Mas Gagah itu saudara kandung kamu sendiri, nggak pantes apa yang kamu lakukan!” ucap Mamah dengan emosinya
            “Jadi Gita, Mah, yang salah? Kenapa sih Mamah jadi belain Mas Gagah terus?” protes Gita sembari pergi meninggalkan ruang tamu
            “Kamu lihat tu adik kamu, sekarang dia berpikir dan merasa Mamah lebih memilih kamu, Mamah lebih membela kamu, nggak sehat ini Gah! Bukan keluarga seperti ini yang Mamah mau!”
###
Waktu berlalu, berbagai macam cara Gagah lakukan untuk baikan dengan adiknya Gita, namun sepertinya Gita masih belum memahami hal itu. Hingga akhirnya Gagah mengajak Gita pergi ke sebuah acara pernikahan. Awalnya gita merasa senang, namun ketika sampai ditempat pesta Gita merasa asing didalamnya. Gita menjadi sosok wanita tanpa hijab diantara wanita-wanita berhijab lainnya. Gagah meminta Gita untuk pergi ke tempat yang di sediakan untuk akhawat. Gita merasa bingung dan terasingkan disana, ia pun nekat menemui Gagah dan masuk ke tempat khusus ikhwan. Disanalah Gita membuat masalah sampai akhirnya Gagah mengajaknya pulang.
            “Mas tega banget sih Mas! Mas udah nggak kaya dulu”
            “tunggu dulu Git,Mas mau ngomong”
            “Nggak! Aku tau Mas mau ngomong apa! Mas mau ceramahin Gita kan? Iya kan? Gita capek Mas, Gita capek! Gita kesel Mas, Mas tu egois! Gita benci Mas!”
            “Git, Gita!”
Keesokanharinya Gita melihat sahabatnya yang bernama Tika telah menggunakan hijab. Tika banyak sekali bercerita mengapa ia mau menggunakan hijab. Hal itu membuat Gita heran, tak percaya sekaligus merasa kesal. Bagaimana bisa teman-teman dekatnya kini mulaiberubah?. Sepulang sekolah Gita langsung menuju kamar Mamah untuk menceritakan semuanya. Tapi tak disangka, di genggaman Mamahnya pun terdapat jilbab. Gita semakin kesal, ia terus menerus menyalahkan Gagah. Gita meninggalkan kamar Mamah dan menuju ke kolam renang, ia termenung sendirian disana. Melihat itu Gagah mengirimkan pesan kepada Gita.
            “Dik Manis, maafkan Mas jika mas salah, Mas hanya melakukan sesuatu yg mas yakini benar, mas ngga mau kamu sedih”
Setelah membaca pesan singkat itu, saking marahnya, Gita memukulkan tangannya ke air yang ada dikolam.
Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar